Friday, 12 December 2014

Yuk siapin bekal untuk bermasyarakat

Senja itu telah berganti menjadi malam, ku perhatikan satu persatu wajah bidadari rumah cahaya. :)
banyak raut wajah yang berkumpul menjadi satu di tempat itu, entah itu senang maupun sedih. tapi tetap saja.. aku suka dengan suasana hari itu, entah mengapa. rasanya sudah lama sekali tidak menatap wajah bidadari-bidadari itu...

Pertemuan besar itu di pimpin dengan salah satu bidadari yang luar biasa. pertemuan kali ini hanya membahas dua hal. yang pertama, membahas tentang usbu' ilmi (pekan ilmu). (langsung muka pada berubah. hehehe), dan yang kedua membahas ke-sya'bi-an (ke-masyarakat-an). (pembahasan yang pertama jangan di ungkit ya, tapi dijalanin. he). Di pembahasan sya'bi salah satunya ada pengumuman bahwa rumah cahaya akan kedatangan tamu yang spesial. siapa dia? tamu spesialnya adalah ibu-ibu RT1 Pugeran. ini spesial banget. karena bakal "ngoncang" arisan... pertemuan kali ini tidak lama, karena adzan isya' sudah berkumandang dan bakal melanjutkan keativitas selanjutnya. berakhirnya pertemuan itu menandakan bahwa bakal ada puing rindu yang akan merangsang kembali. hehe

Tuesday, 9 December 2014

Aku berdiri dengan kakiku sendiri

Ia adalah jiwa yang tak pernah menyerah untuk selalu bertahan diatas kaki yang menompang beban tubuhnya. Satu sisi ia begitu banyak meredam rasa sakit, tapi sesekali  ia tak ingin menampakkan redaman rasa sakit itu, yang butuh ia tampakkan hanyalah seongkoh kebahagiaan, agar orang yang ada disekitarnya selalu merasa bahagia.

Tapi... itu adalah kebohongan ! kebohongan ! kebohongan yang tidak akan pernah terungkap,  itu adalah sandiwara.. kebahagiaan itu hanyalah palsu, bagaimana bisa itu akan terus bertahan sedang ia sendiri tak bisa merasakan kebahagiaan. Saat ini, ia tengah membutuhkan energi yang sangat dahsyat. Energi yang bisa mengembalikannya untuk tetap tinggal bersama orang yang ia sayangi. Akan tetapi, entah mengapa.. hanya segelintir orang yang mampu membuatnya bertahan. Segelintir orang yang beda pemahaman, segelintir orang yang belum mengerti tujuan hidup. Terkadang terbesit didalam dada pertanyaan yang aku sendiri sulit untuk memecahkannya.. pertanyaan yang selalu memenuhi ruang pikirku, yang selalu menghambatku untuk terus mencoba memahaminya. Entah sampai kapan mereka bisa memahamiku, bahwasanya saat ini aku begitu membutuhkan mereka.

Monday, 8 December 2014

Rindu yang terobati

Kicau burung yang kau bicarakan, ia sudah mulai terdengar di telinga. Ia tak sendiri, ia bersama dengan teman yang lain, sehingga kicauan itu terdengar nampak indah. Dedaunan yang hijau telah basah oleh embun yang hinggap di tubuhnya, ia kembali segar.

Namun, di celah-celah keindahan yang mulai nampak, tiba-tiba ada suara yang menggetarkan telinga… Kringgg… kring… kring…  dan ia masih terlelap dalam mimpi, hingga untuk yang kedua kalinya ia terbangun dari mimpi itu… Kring…. Kring… kring.. dengan mata yang masih terpejam, dan kondisi yang belum tersadarkan, ia segera mengangkat dering suara yang menggetarkan itu… “Halo… Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam wr.wb… hei, kau belum terbangun ,  padahal sebentar lagi mentari nampak di pelupuk mata, sudah jam 04:30 ini… ayooo bangun, pastilah kau belum shalat.. ” suara itu jelas sekali terdengar di telinganya, sehingga ia langsung terbangun dari tidurnya. Yang semula terbaring langsung beranjak duduk.  Dan dengan suara yang datar ia menjawab, “iya kak… Rara belum shalat… tumben kak Redho  menelpon Rara pagi-pagi sekali, ada apa kak?” karena biasanya Redho hanya menelpon adik kesayangannya ketika menjelang sore, setelah banyak tenaga yang menguras tubuhnya. “Iya Ra, nanti Rara bisa jemput kak Redho di bandara? Jemput sekitar jam 05.30.”, dengan suara senang dan meyakinkan, gadis kecil itu langsung menjawab “kak Redho pulang ke jogja?” (Ra… Rara… suara ayah yang selalu membangunkannya) dengan suara meyakinkan, pemuda itu menjawab “iya Rara… nah, sepertinya papa sudah membangunkanmu. Ayooo… buruan shalat.. jangan lupa. Jemput kakak. Assamu’alaikum adik sholihah…” karena kakaknya sudah mengakhiri percakapan dengan salam, maka mau tidak mau ia harus menutupnya dengan salam pula. “wa’alaikumussalam wr.wb. oke” percakapan pagi itu langsung berakhir. Ia menutup telponnya dan kembali meletakkannya di atas dipan. Dan panggilan ayahnya pun kembali datang “Ra… Rara… bangun…” suara orangtua itu terdengar jelas di bawah tangga… “iya pa…. Rara sudah bangun. Ini mau shalat…” (suara lirih hati ayahnya pun berkata: tumben sekali anak itu sudah bangun,).

Thursday, 6 November 2014

Mimpi bersama KMM

Dari pelupuk matanya mereka memandangku jabatanku, fisikku, cara berpakaianku bahkan tempat di mana aku dilahirkanpun tak lupa dipandang dari pandangan mereka, seolah akulah duri dalam hidup akulah benalu yang merusak akulah nanah yang menjijikkan akulah bangkai yang busuk aku gelap, tanpa sinar dan dari pandangan mereka, seolah aku tak mampu mewujudkan segala mimpi

Ia tidak akan jatuh jika tak ada yang menyandungnya

Di sudut kota yang ramai, tepatnya ditaman dan kerumunan orang yang sedang melakukan aktivitas, terdapat dua insan yang sedang bercakap...

Tak lama... pemuda itu langsung membuka topik percakapannya “Dari barat kudengar kicauan burung menyampaikan kata-katanya kepadaku, jikalau kau adalah seorang –Akhwat yang tangguh-, apakah benar saudaraku?... (gadis kecil itu membisu sambil menatap rumput di bawah kakinya) Mungkin aku harus bertanya berulang-ulang kepadamu. Apakah benar engkau seorang –Akhwat tangguh-? (kali ini ia masih tetap membisu).. Jawab saudaraku, jawab... tataplah mata kakakmu ini, jika kata-kata itu benar. Kenapa engkau hanya diam? Kenapa engkau tak menjawab satu patah kata pun?”

Karena tak tega melihat adik kesayangannya terus menjatuhkan air mata, ia sejenak menghentikan kata-kata yang keluar dari bibirnya seraya memeluk adiknya. Setelah sekian lama membisu, akhirnya gadis kecil itu menjawab pertanyaan kakaknya. Sebenarnya dari tadi ia ingin mencoba menjawab, tapi lidahnya kelu untuk berkata-kata. Hanya tangis yang mampu menjawab pertanyaan itu. Dan ketika saudaranya kembali bertanya untuk kesekian kalinya... baru ia bisa mengangkat bibirnya.

Monday, 3 November 2014

-To be Continue-

**
Gelap berganti terang sudah hampir nampak di pelupuk mata.. dan tak heran jika pagi-pagi itu selalu diteriakkan dengan lantunan-lantunan suara yang merdu, hingga membangunkan seluruh penjuru rumah yang bercahaya itu. Dan di sela-sela teriakan yang merdu, masih nampak seorang gadis kecil berambut lebat yang tengah berbaring di atas kasur tinggi, sekujur tubuhnya ditutup dengan sehelai kain penghangat... hingga akhirnya... Kreekkkk... pintu yang berukuran 2x3 itu pun terbuka,  dan dibalik pintu itu tengah berdiri pemuda yang gagah, kemudian  melangkahkan kakinya menuju tempat tidur gadis kecil itu, sambil membuka jendela, lalu duduk di sampingnya seraya berkata “Sayang, bangun... sudah jam 05.00, mataharinya pun sudah mau menelan bumi, coba buka matanya, satu saja...” (gadis itu pun membuka mata kirinya sambil melihat jam yang di pegang pemuda itu) tanpa basa-basi, ia langsung  bergejolak dari tempat tidurnya dan hampir saja ia tersungkur...

Friday, 31 October 2014

Masih Bersama Senja

   Pejalanan ini terus aku lalui, hingga akhirnya aku menemukan titik dimana aku harus berhenti. Senja itu menemaniku berjalan bersama, bergandengan tangan bak sepasang kekasih yang tengah menjalin asmara, tak mengenal malu... terus berjalan, dan berjalan... hingga kami letih bersama. Perasaan ketika berjalan bersama dengan senja ada rasa yang membuat aku takut terjatuh, ada rasa yang membuat aku takut berpaling, tapi... dari rasa itu aku belajar, bagaimana aku harus bangkit.  

Suatu ketika, pengumuman itu pun hadir, jrengg...

“Bu, zahrah keterima di Yogyakarta... ” dengan suara lirih ibu berdiri dan menghampiriku “alhamdulillah, kapan kita mau berangkat. Siapkan yang harus di siapkan. Karena kau akan tinggal di negeri orang”. Kata-kata yang menyemangati hingga akhirnya aku berada di kota ini. “baiklah aku akan bertekad, bahwa aku akan berubah, bukan zahrah yang nakal. Yang selalu membuat ibu menangis dan menasehatiku sepanjang hari”. Tekad itu bercahaya di dalam hati, bak cahaya mentari di siang hari.

Wednesday, 29 October 2014

Sudahkah Kita Tarbiyah?

Pertanyaan itu kerap kali muncul dalam bayang-banyang semu kita. Bahkan ketika bercermin pun timbul pertanyaan “jilbab gede udah bisa apa? Udah kasih apa? Liqo’nya jalankah? akhlaknya tercermin seperti jilbab inikah? ”. kerap kali pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Terkadang terlintas dibenak, apakah ini yang katanya –orang- anak tarbiyah? Yang gini ni?... sudah. Lupakan!  Itu hanya pertanyaan yang membuat kita akan menjadi lebih bingung. Dan sebenarnya bukan itu pertanyaannya. Melainkan ini pertanyaannya:
a. Apakah kita telah tarbiyah karena kita memiliki murabbi? 
b. Apakah kita telah tarbiyah karena kita telah memiliki liqa’ pekanan? 
c. Apakah kita telah tarbiyah karena kita telah mendapatkan materi yang berkelanjutan?
Sejatinya pertanyaan itu yang terus membuat kita melangkah kedepan, bertahan meski tak mengerti. Baiklah sobat, mungkin saya akan memaparkan sedikit dari pertanyaan-pertanyaan diatas, pemaparan ini sejati saya ambil dari buku yang berjudul –SUDAHKAH KITA TARBIYAH?-.

Pertanyaan –pertanyaan itu akan  terjawab dengan bebarapa hal berikut:
  1. Kita sudah tarbiyah, jika kita terbuka terhadap perubahan

Terbuka terhadap perubahan terkadang membuat kita seolah-olah bebas dari jeratan yang membuat hati kecil terus bertanya-tanya, ”akankah diri ini mampu berubah layaknya –orang itu -?” Padahal jelas sekali, terkadang –orang- yang ditunjuk itu pun telah melewati fase yang rumit, tetapi ia memiliki tekad yang kuat untuk berubah. Beda halnya lagi dengan orang yang mengoreksi kita,” mbok kamu tu jangan kayak gitu...” terkadang kita menjawab “aku gak bisa berubah, aku ya  memang kayak gini, gk bisa dirubah lagi... bla bla bla”. Terkadang yang katanya -kader- saja bisa berkata seperti itu, lantas dari sisi mananya ia bisa berubah? Toh bukannya sama saja dengan yang lain? Lantas apa bedanya?
Pada hakikatnya yang membedakan -kader- dengan yang lain adalah perubahan. bukan malah tidak ingin berubah. Sakit? Memang ! kata siapa berubah itu tidak sakit. Karena perubahan memiliki fase-fase yang kita sendiri belum tentu memahaminya namun orang lain memahaminya. Jika kita ingin berubah, maka berubahlah yang semestinya berubah, bukan berubah yang semestinya tidak diharapkan. bak sebuah ulat, ia bertahan lamanya untuk menjadi sebuah kepompong, ia bersabar, hingga ia akan berubah menjadi kepompong lalu ia akan berubah lagi menjadi hal yang indah.