Pejalanan ini terus aku lalui,
hingga akhirnya aku menemukan titik dimana aku harus berhenti. Senja itu
menemaniku berjalan bersama, bergandengan tangan bak sepasang kekasih yang
tengah menjalin asmara, tak mengenal malu... terus berjalan, dan berjalan...
hingga kami letih bersama. Perasaan ketika berjalan bersama dengan senja ada
rasa yang membuat aku takut terjatuh, ada rasa yang membuat aku takut berpaling,
tapi... dari rasa itu aku belajar, bagaimana aku harus bangkit.
Suatu ketika, pengumuman itu pun
hadir, jrengg...
“Bu, zahrah keterima di
Yogyakarta... ” dengan suara lirih ibu berdiri dan menghampiriku “alhamdulillah,
kapan kita mau berangkat. Siapkan yang harus di siapkan. Karena kau akan
tinggal di negeri orang”. Kata-kata yang menyemangati hingga akhirnya aku
berada di kota ini. “baiklah aku akan bertekad, bahwa aku akan berubah, bukan
zahrah yang nakal. Yang selalu membuat ibu menangis dan menasehatiku sepanjang
hari”. Tekad itu bercahaya di dalam hati, bak cahaya mentari di siang hari.
Jreeeenggg...
Hingga akhirnya aku sampai di
kota yang katanya -istimewa- ini, perubahan yang aku nanti... dan perubahan itu
drastis sekali, awal mula yang jilbabku menjulur hanya sebatas menutup rambut,
sekarang jilbab itu menjulur hingga menutup bahuku dan dengan jilbab itu aku
bisa mengenal bahasa -dakwah-. Tak dapat diduga, banyak sekali perjalanan yang
membuat aku bertahan hingga sekarang. Bukan hanya bertahan di kuliahku saja. Tapi
aku bertahan bagaimana jilbab ini, ketika aku pulang ke rumah dengan gelarku,
ia tak menaiki bahuku...
Tiba masanya dimana ketakutan itu
kembali muncul dalam benakku dan kita masih bersama, berjalan bersama senja...
di tengah perjalanan aku menemukan, lelah itu menghampiri ku... dari mulai kuliah hingga dakwah.
Di jogja aku mengambil jurusan
Pendidikan Teknik Informatika, tepatnya di Universitas Negeri Yogyakarta, awal mula aku hanya mengira “mungkin informatika
adalah pelajaran yang -hanya- sebatas memperdalam microsoft word, excel, dll.” Dan ternyata dugaanku salah ! itu
adalah pelajaran yang banyak menggunakan coding,
web, design, dan jaringan. Menyesal? Iya, aku menyesal... karena aku -belum-
bisa memainkan sebuah games dari
informatika. Hingga di suatu tempat, dimana aku sering singgah dan bermain,
bahkan bisa dikatakan -tidur- disana, aku mengeluarkan isi hati... nangis
sekuat-kuatnya sambil ditemani seseorang,
lalu teman itu berkata dengan suara lirih “zahrah, apa kau mau aku panggilkan -mbak-
yang bisa memberikan solusi untukmu?” dengan sesak dan tersedu-sedu aku
mengganggukan kepala. Tak cukup lama aku harus menunggunya. Ternyata si –mbak-
sudah datang dengan senyumannya sambil berkata lirih “hei, kau kenapa?” aku pun
terus mengeluarkan air mata, belum aku berbicara, mbak itu sudah angkat bicara
dulu “bosen kuliah? Mau pindah? Kalau iya,
jurusan apa? Mbak dulu pernah seperti kau, ra.. merasa salah jurusan. Kalau kau
belum bisa dengan jurusan ini, coba kau cari alternatif lain, semisal.. kau
suka nulis, tulis saja.. tapi kau harus mampu bertahan, mengawali dan
mengakhiri memang mudah ra, tapi bertahan itu yang membutuhkan waktu yang cukup
lama, karena bertahan itu hanya bisa dilakukan dengan sabar dan ikhlas. Bla...
bla.. bla... ” sebelumnya temanku sudah berbicara kepada si mbak, apa yang aku
hadapi saat ini. Jadi, banyak sekali yang mbak itu bicarakan, hingga lambat
laut aku berhenti dengan isakan tanggis yang mendera-dera. Lalu aku angkat
bicara “terima kasih mbak, bantu aku bertahan mbak... ” karena mengingat waktu,
kalau mbak itu tak hanya mengurusiku, banyak hal yang harus di urusnya.. jadi
aku mempercepat percakapanku dengannya.
Sebelum aku bertemu dengan mbak
itu, aku sudah angkat bicara kepada orangtuaku, menjelaskan aku tak mampu, aku
ingin pindah, dan lain sebagainya. Yah... seorang ibu hanya mampu berusaha yang
terbaik untuk anaknya, tapi ia terus meyakinkan “jangan terlalu cepat mengambil
keputusan, pikirkan matang-matang, sebelum engkau menyesal ! cobalah bertahan
beberapa minggu lagi, bla bla bla..” begitu cara ibu membuat aku bertahan, dan
aku pun mencobanya, bertahan, bertahan, terus bertahan hingga saat ini. Aku tak
ingin terlalu banyak mengungkit kuliahku, karena pada hakikatnya, bertahan yang
harus aku lalukan, meski kuliah itu belum bisa aku terima.
Setelah berbicara tentang kuliah,
maka saatnya berbicara tentang dakwah, ketika berbicara tentang dakwah, maka ia
akan berbicara tentang hati..
Masih sama....
Senja itu masih terus bersamaku
hingga saat ini, tak tau kemana aku pergi, ia terus berjalan disampingku. Jilbab
yang aku julurkan sampai menutup bahuku pun masih bertahan bersamaku, ia tak di
renggut oleh siapapun, memang... jilbab seperti ini siapa yang akan
merenggutnya? Melihatnya saja orang tak ingin berada didekatnya, merasa
takutlah, anehlah, dll. Dan memang bukan jilbab yang direnggut, melainkan raga
dan jiwa didalam jilbab yang direnggut. Aku tak menyesal dengan mengenakan
jilbab ini, karena dengan jilbab ini aku mengenal dakwah, mengenal islam lebih
dalam, bertemu dengan orang-orang yang sholeh dan sholehah. Banyak sekali yang
aku temukan pada jilbabku, hingga pertemuan-pertemuan itu di sebut cinta dalam
ukhuwah. Meski hilir mudik aku mengenakan jilbabku, tetap saja ada keganjalan
dalam diri yang terus menghantuiku dan belum bisa aku temukan jawabannya hingga
saat ini “aku selalu menghadiri undangan-undangan dalam dakwah, tapi aku jarang
menghadiri undangan orangtuaku, aku selalu menasehati orang lain, menjawab
pertanyaan orang lain, menyampaikan kebaikan kepada orang lain, tapi tidak
untuk ku. Apa ini aku? Yang pandai bersandiwara terhadap orang lain, tapi tak
pandai bersandiwara dengan diri sendiri”. Pertanyaan itu selalu muncul
dibenakku, Semakin keras aku berusaha lari, maka akan semakin kuat
cengkeramannya, semakin kencang aku berteriak, maka semakin kencang pula
gemanya memantul memenuhi isi hati. karena tubuh ini seperti bunga yang hanya
bisa disiram dan dipupuk oleh orang lain, tapi tak bisa menyiram dan memupuk
diri sendiri, yang hanya bisa membuat orang lain bahagia, tapi tak bisa membuat
diri sendiri bahagia... kini... aku masih menunggu jawabannya... ini bukan
penyesalan, tetapi ini keganjalan hati.
Mungkin tak hanya aku yang merasakannya, bertahan diatas kaki yang menginjak duri, harus memiliki kekuatan yang maksimal, menahan sakit dan perih. Namun hanya ada dua pilihan, bertahan atau pergi... jika kau bertahan, maka kau akan melukai tubuh yang lain, tapi jika kau pergi, maka engkau akan menyelamatkan tubuh yang lain. sakit itu tidak harus bertahan, sakit itu tidak harus mengorbankan diri sendiri, tapi sakit itu harus dibuang jauh. Agar ada celah untuk mengobatinya.
No comments:
Post a Comment