Friday, 31 October 2014

Masih Bersama Senja

   Pejalanan ini terus aku lalui, hingga akhirnya aku menemukan titik dimana aku harus berhenti. Senja itu menemaniku berjalan bersama, bergandengan tangan bak sepasang kekasih yang tengah menjalin asmara, tak mengenal malu... terus berjalan, dan berjalan... hingga kami letih bersama. Perasaan ketika berjalan bersama dengan senja ada rasa yang membuat aku takut terjatuh, ada rasa yang membuat aku takut berpaling, tapi... dari rasa itu aku belajar, bagaimana aku harus bangkit.  

Suatu ketika, pengumuman itu pun hadir, jrengg...

“Bu, zahrah keterima di Yogyakarta... ” dengan suara lirih ibu berdiri dan menghampiriku “alhamdulillah, kapan kita mau berangkat. Siapkan yang harus di siapkan. Karena kau akan tinggal di negeri orang”. Kata-kata yang menyemangati hingga akhirnya aku berada di kota ini. “baiklah aku akan bertekad, bahwa aku akan berubah, bukan zahrah yang nakal. Yang selalu membuat ibu menangis dan menasehatiku sepanjang hari”. Tekad itu bercahaya di dalam hati, bak cahaya mentari di siang hari.

Jreeeenggg...

      Hingga akhirnya aku sampai di kota yang katanya -istimewa- ini, perubahan yang aku nanti... dan perubahan itu drastis sekali, awal mula yang jilbabku menjulur hanya sebatas menutup rambut, sekarang jilbab itu menjulur hingga menutup bahuku dan dengan jilbab itu aku bisa mengenal bahasa -dakwah-. Tak dapat diduga, banyak sekali perjalanan yang membuat aku bertahan hingga sekarang. Bukan hanya bertahan di kuliahku saja. Tapi aku bertahan bagaimana jilbab ini, ketika aku pulang ke rumah dengan gelarku, ia tak menaiki bahuku... 

    Tiba masanya dimana ketakutan itu kembali muncul dalam benakku dan kita masih bersama, berjalan bersama senja... di tengah perjalanan aku menemukan, lelah itu menghampiri ku...  dari mulai kuliah hingga dakwah.

      Di jogja aku mengambil jurusan Pendidikan Teknik Informatika, tepatnya di Universitas Negeri Yogyakarta, awal mula aku hanya mengira “mungkin informatika adalah pelajaran yang -hanya- sebatas memperdalam microsoft word, excel, dll.” Dan ternyata dugaanku salah ! itu adalah pelajaran yang banyak menggunakan coding, web, design, dan jaringan. Menyesal? Iya, aku menyesal... karena aku -belum- bisa memainkan sebuah games dari informatika. Hingga di suatu tempat, dimana aku sering singgah dan bermain, bahkan bisa dikatakan -tidur- disana, aku mengeluarkan isi hati... nangis sekuat-kuatnya  sambil ditemani seseorang, lalu teman itu berkata dengan suara lirih “zahrah, apa kau mau aku panggilkan -mbak- yang bisa memberikan solusi untukmu?” dengan sesak dan tersedu-sedu aku mengganggukan kepala. Tak cukup lama aku harus menunggunya. Ternyata si –mbak- sudah datang dengan senyumannya sambil berkata lirih “hei, kau kenapa?” aku pun terus mengeluarkan air mata, belum aku berbicara, mbak itu sudah angkat bicara dulu  “bosen kuliah? Mau pindah? Kalau iya, jurusan apa? Mbak dulu pernah seperti kau, ra.. merasa salah jurusan. Kalau kau belum bisa dengan jurusan ini, coba kau cari alternatif lain, semisal.. kau suka nulis, tulis saja.. tapi kau harus mampu bertahan, mengawali dan mengakhiri memang mudah ra, tapi bertahan itu yang membutuhkan waktu yang cukup lama, karena bertahan itu hanya bisa dilakukan dengan sabar dan ikhlas. Bla... bla.. bla... ” sebelumnya temanku sudah berbicara kepada si mbak, apa yang aku hadapi saat ini. Jadi, banyak sekali yang mbak itu bicarakan, hingga lambat laut aku berhenti dengan isakan tanggis yang mendera-dera. Lalu aku angkat bicara “terima kasih mbak, bantu aku bertahan mbak... ” karena mengingat waktu, kalau mbak itu tak hanya mengurusiku, banyak hal yang harus di urusnya.. jadi aku mempercepat percakapanku dengannya.

    Sebelum aku bertemu dengan mbak itu, aku sudah angkat bicara kepada orangtuaku, menjelaskan aku tak mampu, aku ingin pindah, dan lain sebagainya. Yah... seorang ibu hanya mampu berusaha yang terbaik untuk anaknya, tapi ia terus meyakinkan “jangan terlalu cepat mengambil keputusan, pikirkan matang-matang, sebelum engkau menyesal ! cobalah bertahan beberapa minggu lagi, bla bla bla..” begitu cara ibu membuat aku bertahan, dan aku pun mencobanya, bertahan, bertahan, terus bertahan hingga saat ini. Aku tak ingin terlalu banyak mengungkit kuliahku, karena pada hakikatnya, bertahan yang harus aku lalukan, meski kuliah itu belum bisa aku terima.

  Setelah berbicara tentang kuliah, maka saatnya berbicara tentang dakwah, ketika berbicara tentang dakwah, maka ia akan berbicara tentang hati..

Masih sama....

   Senja itu masih terus bersamaku hingga saat ini, tak tau kemana aku pergi, ia terus berjalan disampingku. Jilbab yang aku julurkan sampai menutup bahuku pun masih bertahan bersamaku, ia tak di renggut oleh siapapun, memang... jilbab seperti ini siapa yang akan merenggutnya? Melihatnya saja orang tak ingin berada didekatnya, merasa takutlah, anehlah, dll. Dan memang bukan jilbab yang direnggut, melainkan raga dan jiwa didalam jilbab yang direnggut. Aku tak menyesal dengan mengenakan jilbab ini, karena dengan jilbab ini aku mengenal dakwah, mengenal islam lebih dalam, bertemu dengan orang-orang yang sholeh dan sholehah. Banyak sekali yang aku temukan pada jilbabku, hingga pertemuan-pertemuan itu di sebut cinta dalam ukhuwah. Meski hilir mudik aku mengenakan jilbabku, tetap saja ada keganjalan dalam diri yang terus menghantuiku dan belum bisa aku temukan jawabannya hingga saat ini “aku selalu menghadiri undangan-undangan dalam dakwah, tapi aku jarang menghadiri undangan orangtuaku, aku selalu menasehati orang lain, menjawab pertanyaan orang lain, menyampaikan kebaikan kepada orang lain, tapi tidak untuk ku. Apa ini aku? Yang pandai bersandiwara terhadap orang lain, tapi tak pandai bersandiwara dengan diri sendiri”. Pertanyaan itu selalu muncul dibenakku, Semakin keras aku berusaha lari, maka akan semakin kuat cengkeramannya, semakin kencang aku berteriak, maka semakin kencang pula gemanya memantul memenuhi isi hati. karena tubuh ini seperti bunga yang hanya bisa disiram dan dipupuk oleh orang lain, tapi tak bisa menyiram dan memupuk diri sendiri, yang hanya bisa membuat orang lain bahagia, tapi tak bisa membuat diri sendiri bahagia... kini... aku masih menunggu jawabannya... ini bukan penyesalan, tetapi ini keganjalan hati.

Mungkin tak hanya aku yang merasakannya, bertahan diatas kaki yang menginjak duri, harus memiliki kekuatan yang maksimal, menahan sakit dan perih. Namun hanya ada dua pilihan, bertahan atau pergi... jika kau bertahan, maka kau akan melukai tubuh yang lain, tapi jika kau pergi, maka engkau akan menyelamatkan tubuh yang lain. sakit itu tidak harus bertahan, sakit itu tidak harus mengorbankan diri sendiri, tapi sakit itu harus dibuang jauh. Agar ada celah untuk mengobatinya. 

No comments: