Pertanyaan itu kerap
kali muncul dalam bayang-banyang semu kita. Bahkan ketika bercermin pun timbul
pertanyaan “jilbab gede udah bisa
apa? Udah kasih apa? Liqo’nya
jalankah? akhlaknya tercermin seperti jilbab inikah? ”. kerap kali
pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Terkadang terlintas dibenak, apakah ini yang
katanya –orang- anak tarbiyah? Yang gini ni?... sudah. Lupakan! Itu hanya pertanyaan yang membuat kita akan
menjadi lebih bingung. Dan sebenarnya bukan itu pertanyaannya. Melainkan ini
pertanyaannya:
a. Apakah kita telah tarbiyah karena kita
memiliki murabbi?
b. Apakah kita telah tarbiyah karena kita
telah memiliki liqa’ pekanan?
c. Apakah kita telah tarbiyah karena kita
telah mendapatkan materi yang berkelanjutan?
Sejatinya pertanyaan
itu yang terus membuat kita melangkah kedepan, bertahan meski tak mengerti. Baiklah
sobat, mungkin saya akan memaparkan sedikit dari pertanyaan-pertanyaan diatas,
pemaparan ini sejati saya ambil dari buku yang berjudul –SUDAHKAH KITA
TARBIYAH?-.
Pertanyaan –pertanyaan itu
akan terjawab dengan bebarapa hal
berikut:
- Kita sudah tarbiyah, jika kita terbuka
terhadap perubahan
Terbuka
terhadap perubahan terkadang membuat kita seolah-olah bebas dari jeratan yang
membuat hati kecil terus bertanya-tanya, ”akankah
diri ini mampu berubah layaknya –orang itu -?” Padahal jelas sekali, terkadang
–orang- yang ditunjuk itu pun telah melewati fase yang rumit, tetapi ia
memiliki tekad yang kuat untuk berubah. Beda halnya lagi dengan orang yang mengoreksi
kita,” mbok kamu tu jangan kayak gitu...”
terkadang kita menjawab “aku gak bisa
berubah, aku ya memang kayak gini, gk
bisa dirubah lagi... bla bla bla”. Terkadang yang katanya -kader- saja bisa
berkata seperti itu, lantas dari sisi mananya ia bisa berubah? Toh bukannya
sama saja dengan yang lain? Lantas apa bedanya?
Pada
hakikatnya yang membedakan -kader- dengan yang lain adalah perubahan. bukan
malah tidak ingin berubah. Sakit? Memang ! kata siapa berubah itu tidak sakit. Karena
perubahan memiliki fase-fase yang kita sendiri belum tentu memahaminya namun
orang lain memahaminya. Jika kita ingin berubah, maka berubahlah yang
semestinya berubah, bukan berubah yang semestinya tidak diharapkan. bak sebuah ulat,
ia bertahan lamanya untuk menjadi sebuah kepompong, ia bersabar, hingga ia akan
berubah menjadi kepompong lalu ia akan berubah lagi menjadi hal yang indah.