Friday, 31 October 2014

Masih Bersama Senja

   Pejalanan ini terus aku lalui, hingga akhirnya aku menemukan titik dimana aku harus berhenti. Senja itu menemaniku berjalan bersama, bergandengan tangan bak sepasang kekasih yang tengah menjalin asmara, tak mengenal malu... terus berjalan, dan berjalan... hingga kami letih bersama. Perasaan ketika berjalan bersama dengan senja ada rasa yang membuat aku takut terjatuh, ada rasa yang membuat aku takut berpaling, tapi... dari rasa itu aku belajar, bagaimana aku harus bangkit.  

Suatu ketika, pengumuman itu pun hadir, jrengg...

“Bu, zahrah keterima di Yogyakarta... ” dengan suara lirih ibu berdiri dan menghampiriku “alhamdulillah, kapan kita mau berangkat. Siapkan yang harus di siapkan. Karena kau akan tinggal di negeri orang”. Kata-kata yang menyemangati hingga akhirnya aku berada di kota ini. “baiklah aku akan bertekad, bahwa aku akan berubah, bukan zahrah yang nakal. Yang selalu membuat ibu menangis dan menasehatiku sepanjang hari”. Tekad itu bercahaya di dalam hati, bak cahaya mentari di siang hari.

Wednesday, 29 October 2014

Sudahkah Kita Tarbiyah?

Pertanyaan itu kerap kali muncul dalam bayang-banyang semu kita. Bahkan ketika bercermin pun timbul pertanyaan “jilbab gede udah bisa apa? Udah kasih apa? Liqo’nya jalankah? akhlaknya tercermin seperti jilbab inikah? ”. kerap kali pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Terkadang terlintas dibenak, apakah ini yang katanya –orang- anak tarbiyah? Yang gini ni?... sudah. Lupakan!  Itu hanya pertanyaan yang membuat kita akan menjadi lebih bingung. Dan sebenarnya bukan itu pertanyaannya. Melainkan ini pertanyaannya:
a. Apakah kita telah tarbiyah karena kita memiliki murabbi? 
b. Apakah kita telah tarbiyah karena kita telah memiliki liqa’ pekanan? 
c. Apakah kita telah tarbiyah karena kita telah mendapatkan materi yang berkelanjutan?
Sejatinya pertanyaan itu yang terus membuat kita melangkah kedepan, bertahan meski tak mengerti. Baiklah sobat, mungkin saya akan memaparkan sedikit dari pertanyaan-pertanyaan diatas, pemaparan ini sejati saya ambil dari buku yang berjudul –SUDAHKAH KITA TARBIYAH?-.

Pertanyaan –pertanyaan itu akan  terjawab dengan bebarapa hal berikut:
  1. Kita sudah tarbiyah, jika kita terbuka terhadap perubahan

Terbuka terhadap perubahan terkadang membuat kita seolah-olah bebas dari jeratan yang membuat hati kecil terus bertanya-tanya, ”akankah diri ini mampu berubah layaknya –orang itu -?” Padahal jelas sekali, terkadang –orang- yang ditunjuk itu pun telah melewati fase yang rumit, tetapi ia memiliki tekad yang kuat untuk berubah. Beda halnya lagi dengan orang yang mengoreksi kita,” mbok kamu tu jangan kayak gitu...” terkadang kita menjawab “aku gak bisa berubah, aku ya  memang kayak gini, gk bisa dirubah lagi... bla bla bla”. Terkadang yang katanya -kader- saja bisa berkata seperti itu, lantas dari sisi mananya ia bisa berubah? Toh bukannya sama saja dengan yang lain? Lantas apa bedanya?
Pada hakikatnya yang membedakan -kader- dengan yang lain adalah perubahan. bukan malah tidak ingin berubah. Sakit? Memang ! kata siapa berubah itu tidak sakit. Karena perubahan memiliki fase-fase yang kita sendiri belum tentu memahaminya namun orang lain memahaminya. Jika kita ingin berubah, maka berubahlah yang semestinya berubah, bukan berubah yang semestinya tidak diharapkan. bak sebuah ulat, ia bertahan lamanya untuk menjadi sebuah kepompong, ia bersabar, hingga ia akan berubah menjadi kepompong lalu ia akan berubah lagi menjadi hal yang indah.